Kamis, 10 Januari 2013

Tidak ada shalat bagi yang tidak berjama'ah secara sengaja

6. Tidak ada shalat bagi yang tidak berjama'ah secara sengaja

Yang lebih menegaskan wajibnya shalat berjama'ah adalah hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang mengancam orang yang mendengarkan adzan tapi tidak mendatanginya dengan sengaja tanpa udzur. Beliau صلى الله عليه وسلم menyatakan bahwa tidak ada shalat baginya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.
Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. (HR. Ibnu Majah dalam Abwabul Masajid wal jamaah, bab, Taghlidh fi Takhalluf 'Anil Jama'ah, No. 777; Ibnul Mundzir, Lihat alAushath fis sunani wal ijma' wal Ikhtilaf, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq 'Ala Taariki Syuhudul Isya' was Subhi Jama'ah, no. 1898;Ibnu Hibban, lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibnu Hibban bab Fardhul Jama'ah bab Dzikrul Khabar ad-Daall Anna Hadzal Amru Hatmun La Nadbun, no. 2064 dan Hakim dalam Mustadrak, Kitabus Shalah 1/245)
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani رحمه الله dalam al-Irwa'. Beliau berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani dalam Mu'jamul Kabir. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas Oleh Abu Musa al-Madini dalam al-Lathaifu Min 'Ulumil Ma'arif, Hasan bin Sufyan dalam al-Arba'in, Daruquthni, Hakim dan Baihaqi dari banyak jalan, dari Hasyim dari 'Adi. Hakim berkata: "Hadits ini shahih sesuai dengan syarat dua Syaikh (Bukhari dan Muslim)". Pendapat ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Dan hadits ini memang seperti apa yang dikatakan oleh keduanya". (Irwa'ul Ghalil, 2/337).

Diriwayatkan pula ucapan-ucapan sejumlah para shahabat yang menyatakan demikian. Imam Tirmidzi رحمه الله berkata: "Sungguh telah diriwayatkan bukan hanya dari seorang shahabat Nabi saja bahwa mereka berkata: "Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya". (Jami' Tirmidzi dengan Tuhfatul Ahwadzi, 1/188)
Sebagai contoh kita sebutkan beberapa ucapan mereka. Diantaranya apa yang diucapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ. فَقِيْلَ: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ! وَمَنْ جَارُ الْمَسْجِدِ؟ قَالَ: مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ.
"Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid". Ditanyakan kepada beliau: "Wahai Amirul Mukminin, siapa tetangga masjid?" Beliau menjawab: "Tetangga masjid adalah orang yang mendengarkan adzan". (HR. Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, kitabus shalah, bab Man Sami'a Nida, no. 1915, 1/497-498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami'al Munadi falyajib 1/ 345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1907, 4/137; lihat al-Muhalla, 4/274-275)
Ibnu Mas'ud رضي الله عنه berkata:
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي ثُمَّ لَمْ يَجِبْ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ.
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami'al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1902, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275)
Ibnu Abdullah bin Abbas رضي الله عنه juga berkata:
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي ثُمَّ لَمْ يَجِبْ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ.
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya". (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami'al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1899, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275; Abdurrazzak dalam Mushanaf, kitabus shalah, bab Man sami'a Nida' no. 1914, 1/497; al-Baghawi dalam Syarkhus Sunnah, no. 795 juz 3 /348, dikatakan oleh pentahqiq kitab tersebut: "Sanad hadits ini shahih)
Abu Musa al-'Asyari رضي الله عنه berkata:
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي ثُمَّ لَمْ يَجِبْهُ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ.
Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya. (Riwayat Ibnul Mundzir dalam al-Ausath kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq, no. 1900, 4/136; lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 4/274)
Kalimat 'Laa shalata' sering dipahami oleh ahlul fiqh dengan "tidak sah". Walaupun dalam hadits ini ada perbedaan diantara ulama, apakah "tidak sah" atau "tidak sempurna". Namun tentunya hadits ini cukup sebagai dalil yang qath'i tentang wajibnya shalat jama'ah.

7. Meninggalkan shalat jama'ah adalah ciri-ciri kemunafikan
Disebutkan dalam banyak riwayat bahwa meninggalkan shalat jama'ah merupakan salah satu dari ciri-ciri kemunafikan. Ini menunjukkan bahwa shalat jama'ah adalah perkara yang wajib. Karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib adalah tidak berdosa, maka tidak mungkin disebutkan sebagai tanda kemunafikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا. (رواه البخاري في كتاب الأذان)
Tidak ada shalat yang lebih berat bagi seorang munafiq melainkan shalat fajar dan shalat Isya'. Kalau saja mereka mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. (HR. Bukhari, Kitabul Adzan bab Fadllul Isya fil Jama'ah, no. 657, 2/141)

Ibnu Hibban رحمه الله juga meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya dengan memberi judul bab Dzikrul Bayan bi anna Hataini shalataini atsqalu shalah 'alal Munafiqiin (Keterangan bahwa 2 shalat ini adalah yang paling berat bagi munafikin); lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban, kitabus shalah, 5/ 454.

Hadits semakna yang juga mensifati seorang yang meninggalkan shalat jama'ah dengan kemunafikan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Ubay bin Ka'ab. Ia berkata: "Pada suatu hari ketika kami shalat shubuh, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya: "Apakah fulan hadir?". Mereka menjawab: "Tidak". (Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم menanyakan orang lain):"Apakah si fulan hadir?" Mereka juga menjawab: "Tidak". Kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلاَتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا َلأَتَيْتُمُوهُمَا وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ.
Sesungguhnya dua shalat ini adalah shalat yang paling berat atas orang munafiq. Kalau saja kalian tahu apa yang ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. (HR. Abu Dawud dalam Sunan, kitabus shalat, bab Fadllu shalatil jama'ah, no. 550, 2/259; al-Hafidz al-Mundziri berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim. Telah ditegaskan oleh Yahya Ibnu Ma'in dan adz-Dzuhali bahwa hadits ini shahih; lihat Targhib wa tarhib, 1/264; dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahih Targhib wa tarhib, 1/238; Shahih Sunan Ibnu Dawud, 1/111 dan Shahih Sunan an-Nasa'i, 1/183)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bin Malik رضي الله عنه, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً دَعَ النَّاسَ إِلَى عَرْقٍ أَوْ مِرْمَاتَيْنِ َلأَجَابُوا إِلَيْهِ وَهُمْ يَدْعُوْنَ إِلَى هَذِهِ الصَّلاَةِ فَي جَمَاعَةٍ فَلاَ يَأْتُوْنَهَا. لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَى قَوْمٍ سَمِعُوْا النِّدَاءَ فَلَمْ يَجِيْبُوْا فَأَضْرِمُهَا عَلَيْهِمْ نَارًا إِنَّهُ لاَ يَتَخَلَّفَ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ.
Kalau saja seseorang dipanggil untuk makan sop tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya. Sedangkan jika mereka dipanggil untuk shalat berjama'ah, mereka tidak mendatanginya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat jama'ah bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan adzan, tapi tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. Sungguh tidaklah meninggalkan shalat jama'ah, kecuali munafiq. (Berkata al-Haitsami: "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Aushath. Para perawi-perawi semuanya tsiqah". Lihat Majma'uz Zawaid kitabus shalah bab tasydid fi tarkil jama'ah, 2/43)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah رحمه الله dari Abi Umair bin Anas: menyampaikan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar رضي الله عنهم, mereka berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَا يَشْهَدُهُمَا مَنَافِقٌ يَعْنِي الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ.
Tidak akan menghadiri keduanya seorang munafiq, yakni shalat Isya' dan shalat Fajar. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, kitabus shalawat, bab Takhalufil Isya' wal Fajr. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: "Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Sa'id bin Manshur dengan sanad shahih dari Abi Umair bin Anas. Lihat Fathul Baari, 2/127)

Demikian pula dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas'ud رضي الله عنه, ia berkata: "Barangsiapa yang suka untuk bertemu Allah kelak dalam keadaan selamat, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut ketika dipanggil kepadanya, karena sesungguhnya Allah mensyariatkan untuk nabi kalian ajaran petunjuk. Dan sungguh shalat-shalat itu termasuk ajaran-ajaran petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian seperti apa yang dilakukan oleh si mutakhallif ini di rumahnya, maka berarti kalian telah meninggalkan ajaran nabi kalian. Jika kalian meninggalkan ajaran nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. ….. Sungguh kami melihat pada diri-diri kami waktu itu, tidak ada yang meninggalkan shalat jama'ah kecuali seorang munafiq yang sudah dikenal kemunafikannya. (HR. Muslim, kitabul Masaajid, bab Shalatul jama'ah min sunanil Huda, no. 654, 1/453)
Ibnu Umar رضي الله عنهما berkata:
كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الرَّجُلَ فِي صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ أَسَأْنَا بِهِ الظَّنَّ.
Kami, jika kehilangan seseorang dalam shalat Isya' dan shalat fajar, maka kami berburuk sangka kepadanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan al-Bazzar; lihat Kasyful Astar. Berkata al-Haitsami: "Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan perawi-perawinya terpercaya". (Majma'uz Zawaid 2/40))
Atha' bin Abi Rabbah –seorang ulama dari kalangan tabi'in—berkata:
كُنَّا نَسْمَعُ أَنَّهُ لاَ يَتَخَلَّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِلاَّ مُنَافِقٌ.
Kami mendengar bahwasanya tidak meninggalkan shalat jama'ah kecuali seorang munafiq. (Lihat al-Muhalla, Ibnu Hazm, masalah ke-485, 4/276)

(Diambil dari kitab Ahammiyyatus Shalatil Jama'ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 51 -56).

8. Ancaman kemurkaan Allah bagi orang yang meninggalkan shalat jama'ah dengan sengaja tanpa udzur

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar رضي الله عنهم bahwasanya keduanya mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجَمَاعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ.
Hendaklah kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat jama'ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka. Kemudian jadilah mereka orang-orang yang lalai. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-Nya Abwabul Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf 'Anil Jama'ah, no. 778, 1/142-143; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132)

Sudah dimaklumi bersama bahwa ancaman Nabi صلى الله عليه وسلم terhadap suatu perbuatan menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Maka Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang haramnya meninggalkan shalat jama’ah.
Lebih tegas lagi apa yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin Aisyah رضي الله عنها bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah terancam kejelekan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam Mushanafnya dari Aisyah رضي الله عنها ia berkata:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَجِبْ لَمْ يُرِدْ خَيْرًا أَوْ لَمْ يُرَدْ بِهِ.
Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian tidak mendatanginya, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan tidak dikehendaki kebaikan padanya. (HR. Abdurrazzak dalam Mushannaf kitabus shalah, bab Man Sami'a Nida' no. 1917, 1/498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami'al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1903, 4/ 137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)

Atsar di atas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan jama'ah tidak dikehendaki kebaikan padanya oleh Allah سبحانه وتعالى.
Demikian juga apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah رضي الله عنه:
َلأَنْ يَمْتَلِيءَ أُذُُنُ ابْنِ آدمَ رَصَاصًا مُذَابًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْمَعَ الْمُنَادِيَ لاَ يَجِيْبُهُ.
Kalau telinga anak Adam dipenuhi timah panas yang meleleh, itu lebih baik daripada ia mendengarkan adzan namun tidak mendatanginya. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami'al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1905, 4/137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)

9. Keinginan Nabi صلى الله عليه وسلم untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama'ah
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jama'ah adalah apa yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih tentang keinginan Nabi صلى الله عليه وسلم untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak mau menghadiri shalat jama'ah.
Diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu bakar kemudian dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan dikumandangkanlah adzan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka. Sedangkan aku pergi kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat jama'ah) kemudian aku bakar rumah-rumah mereka. Sungguh demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya kalau saja salah seorang dari mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan sekerat daging paha dan punggung kambing yang bagus tentu mereka akan menghadiri shalat Isya'. (HR. Bukhari dalam kitabul Adzan, bab Wujubus shalatil jama'ah, no. 644, 2/125)
Ancaman ini sangat jelas menunjukkan kewajiban melaksanakan shalat jama'ah. Bahkan Imam Bukhari pun memberikan judul babnya dengan kalimat "Bab wajibnya shalat jama'ah". Sedangkan kita semua tahu bahwa fiqihnya Imam Bukhari terlihat pada judul-judul bab dalam kitab Shahihnya.

Adapun Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya memberikan judul "Hadits-hadits tentang penggunaan ancaman-ancaman keras Nabi صلى الله عليه وسلم untuk memperingatkan orang yang tidak menghadiri shalat Isya' dan Shubuh berjama'ah". (lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibni Hibban, 5/451)
Ancaman-ancaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم ini bukan berlaku atas orang yang meninggalkan shalat sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ancaman ini ditujukan kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun dia shalat di rumahnya.

Dalam salah satu riwayat disebutkan secara jelas bahwa mereka yang diancam akan dibakar rumah-rumahnya adalah mereka yang melakukan shalat di rumah-rumah mereka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَتِي فَيَجْمَعُوا حُزَمًا مِنْ حَطَبٍ ثُمَّ أَاتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأُحَرِّقَهَا عَلَيْهِمْ.
Sungguh aku sangat berkeinginan memerintahkan para pemudaku untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku datangi suatu kaum yang shalat di rumah-rumah mereka tanpa ada udzur dan aku bakar rumah-rumah mereka. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus shalah bab at-Tasydid fit Tarkil Jama’at, no. 545 2/253-254. Syaikh al-Albani berkata tentang hadits ini: “Shahih tanpa kalimat لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ” (Shahih Sunan Abi Dawud 1/110)

Dalam hadits di atas dijelaskan secara tegas bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangat berkeinginan membakar rumah orang-orang yang mengerjakan shalat wajib di rumahnya dan tidak berjama’ah di masjid. Meskipun keinginan Rasulullah صلى الله عليه وسلم tersebut tidak diwujudkan, tapi hal itu cukup sebagai peringatan dan ancaman atas mereka. Dan tidaklah menghalangi beliau صلى الله عليه وسلم dari niatnya, kecuali adanya wanita dan anak-anak.

Diantara para ulama yang mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang wajibnya shalat berjama’ah adalah:
Ibnu Hajar al-Asqalani رحمه الله -ketika mengomentari hadits di atas—berkata: “Adapun hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa shalat berjama’ah adalah fardlu ‘ain (kewajiban atas setiap individu), karena kalau ia hanya merupakan anjuran saja, tidak mungkin beliau صلى الله عليه وسلم mengancam dengan ancaman membakar rumah-rumah mereka. Demikian pula kalau kewajibannya adalah hanya fardlu kifayah, maka dengan telah ditegakkannya shalat jama’ah oleh Rasulullah dan sebagian shahabatnya, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.” (Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 2/125-126)
Abu Bakar al-Kisani al-Hanafi رحمه الله –ketika beliau menyebutkan hadits-hadits tentang shalat jama’ah ini—berkomentar: “Ancaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم seperti ini tidak mungkin terjadi, kecuali atas orang yang meninggalkan satu kewajiban”. (Bada’ius Shanaie 1/155).

Faedah lainnya dari hadits-hadits di atas adalah bolehnya beberapa orang (petugas) meninggalkan shalat berjama’ah untuk menyuruh manusia melakukan shalat berjama’ah di masjid.
Ibnu Hajar al-Asqalani رحمه الله –ketika menjelaskan faedah hadits-hadits ini—berkata: “Dalam hadits ini terdapat keringanan bagi imam atau wakilnya untuk meninggalkan shalat jama’ah dengan tujuan mengeluarkan orang-orang yang bersembunyi di rumah mereka untuk shalat jama’ah”. (Fathul Bari, 2/130)

10. Akibat jelek yang disebabkan karena tidak menyambut panggilan shalat
Termasuk dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah adalah ucapan Allah سبحانه وتعالى yang menerangkan akibat jelek yang akan menimpa orang-orang yang dipanggil untuk sujud, tetapi mereka menolaknya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ(42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ. {القلم: 42-43}
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dalam keadaan sehat. (al Qalam: 42-43)
Yang dimaksud Yud’auna ilas sujud adalah panggilan untuk sujud dengan suara adzan. Yakni ketika mereka dipanggil untuk melakukan shalat berjama’ah.
Makna ayat ini adalah orang yang tidak mau memenuhi panggilan adzan di dunia terancam kehinaan dan akan dipermalukan pada hari kiamat yakni ketika seluruh manusia sujud, mereka tidak dapat sujud.
Ibnu Abbas رضي الله عنهما -Shahabat yang ahli dalam bidang tafsir—ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Mereka dulu (di dunia) mendengarkan adzan dan panggilan untuk shalat, namun tidak mengindahkannya”. (Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, 29/36)

Pendapat Ibnu Abbas di atas bukan hanya dikuatkan oleh seorang dari kalangan salaf, melainkan banyak dari mereka yang juga mengatakan demikian.
Ka’bul Akhbar رحمه الله berkata: “Demi Allah tidaklah turun ayat ini, kecuali tentang orang-orang yang meninggalkan shalat jama’ah”. (Lihat Tafsir al Baghawi, 4/ 283, Zaadul Masiir 8/342 dan Tafsir al-Qurthubi, 18/251)
Ibrahim an-Nukhai رحمه الله berkata: “Yakni mereka dipanggil dengan adzan dan iqamah, tetapi menolaknya”. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 18/151 dan Ruuhul Ma’ani, 29/36)
Ibrahim at-Taimiy رحمه الله berkata: “Yakni diajak untuk shalat wajib dengan adzan dan iqamah”. (Lihat Tafsir al-Baghawi, 4/ 283)
Al-Hafidh Ibnul Jauzi رحمه الله menyimpulkan faedah ayat ini: “Dalam ayat ini terdapat ancaman atas orang-orang yang meninggalkan shalat jama’ah”. (Lihat Zaadul Masiir 8/342)
Fachrurrozi رحمه الله berkata: “Yakni ketika mereka diseru untuk shalat dengan adzan dan iqamah, padahal mereka dalam keadaan sehat dan mampu untuk melakukannya (di dunia). Di sini terdapat ancaman bagi orang yang duduk dan meninggalkan shalat jama’ah dan tidak memenuhi panggilan muadzin untuk shalat secara berjama’ah”. (at-Tafsiirul Kabiir, 30/96)
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Tidak hanya dari satu orang kalangan salaf yang berkata tentang ucapan Allah (ayat ini) bahwa yang dimaksud adalah panggilan muadzin hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal falah”. (Kitabus shalah, hal. 65)
(Diambil dari kitab Ahammiyyatus Shalatil Jama'ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 59 -64).

(Dikutip dari Bulletin Al Manhaj, Edisi 96/Th. III 16 Safar 1427 H/17 Maret 2006 M dan Edisi 97/Th. III 23 Safar 1427 H/24 Maret 2006 M, tulisan Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli Meninggalkan Sholat merupakan Ciri Kemunafikan dan Ancaman Allah dan RasulNya bagi yang Meninggalkan Sholat Berjamaah)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1046

Minggu, 30 Januari 2011

Ciri-Ciri Ulama Ahlusunnah

Siapa yang dinamakan Ulama?

Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini.

Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim). Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah. Dia berfirman:
إِنَّماَ يَخْشَى اللهَ مِنْ عِباَدِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)


Ciri-ciri Ulama

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.

Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang tidak pantas untuk menyandangnya.
a. Sebagian kaum muslimin ada yang meremehkan hak-hak ulama. Di sisi mereka, yang dinamakan ulama adalah orang yang pandai bersilat lidah dan memperindah perkataannya dengan cerita-cerita, syair-syair, atau ilmu-ilmu pelembut hati.
b. Sebagian kaum muslimin menganggap ulama itu adalah orang yang mengerti realita hidup dan yang mendalaminya, orang-orang yang berani menentang pemerintah -meski tanpa petunjuk ilmu.
c. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah kutu buku, meskipun tidak memahami apa yang dikandungnya sebagaimana yang dipahami generasi salaf.
d. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan mendakwahi manusia. Mereka mengatakan kita tidak butuh kepada kitab-kitab, kita butuh kepada da’i dan dakwah.
e. Sebagian muslimin tidak bisa membedakan antara orang alim dengan pendongeng dan juru nasehat, serta antara penuntut ilmu dan ulama. Di sisi mereka, para pendongeng itu adalah ulama tempat bertanya dan menimba ilmu.

Diantara ciri-ciri ulama adalah:
1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)

2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”

3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”

4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)

5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)

7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعاً
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]

Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. Semua ini membeberkan hakikat ulama ahlul bid’ah yang mana mereka bukan sebagai penyandang gelar ini. Dari Al-Quran dan As-Sunnah mereka jauh dan dari manhaj salaf mereka keluar.

Contoh-contoh Ulama Rabbani

Pembahasan ini bukan membatasi mereka akan tetapi sebagai permisalan hidup ulama walau mereka telah menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka hidup dengan jasa-jasa mereka terhadap Islam dan muslimin dan mereka hidup dengan karya-karya peninggalan mereka. Sebagai berikut :
1. Generasi shahabat yang langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
2. Generasi tabiin dan diantara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).
3. Generasi atba’ at-tabi’in dan diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).
4. Generasi setelah mereka, diantara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).
5. Murid-murid mereka, diantara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).
6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).
7. Generasi setelah mereka, diantaranya Ibnu Jarir (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad-Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).
8. Generasi setelah mereka, diantaranya adalah Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnu Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
9. Contoh ulama di masa ini adalah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita. Berikutnya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Asy-Syaikh Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. (Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama)

Wallahu a’lam.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 12/1425 H/2005, judul asli Ciri-Ciri Ulama, karya Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=229)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=867